Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 327248

Email

perpustakaan@iainmadura.ac.id

Jerat Hukum Keyboard Warrior: Mengurai Batasan Etika Digital dan UU ITE

  • Diposting Oleh Admin Web Perpustakaan
  • Senin, 15 Desember 2025
  • Dilihat 34 Kali
Bagikan ke

(Panduan Kritis untuk Mahasiswa: Memahami Risiko di Balik Komentar Viral)

Sebagai generasi yang hidup dan bernapas dalam ekosistem digital, mahasiswa seringkali menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kritik dan opini terkait isu-isu yang sedang viral di Indonesia. Kecepatan dan kemudahan dalam mengetik komentar, meme, atau unggahan di berbagai platform media sosial seringkali menciptakan ilusi anonimitas dan keamanan. Banyak yang merasa bahwa berada di balik layar perangkat adalah tameng yang cukup kuat untuk melontarkan pernyataan spicy atau agresif, yang akhirnya melahirkan fenomena "Keyboard Warrior."

Namun, dalam konteks hukum Indonesia, khususnya dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tameng digital tersebut sangatlah rentan. Literasi hukum digital kini bukan lagi sekadar pengetahuan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak. Mahasiswa, yang posisinya sangat strategis sebagai konsumen sekaligus produsen konten viral, harus menyadari bahwa setiap ketikan memiliki potensi konsekuensi hukum yang serius.

Mengidentifikasi Zona Merah UU ITE

Terdapat beberapa pasal krusial dalam UU ITE yang sering menjadi sumber jerat hukum bagi para Keyboard Warrior, terutama dalam konteks viralitas. Salah satu yang paling sering menjerat adalah pasal terkait Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan (Pasal 27 ayat 3). Ketika kritik terhadap individu atau institusi—seperti dosen, pejabat publik, atau bahkan influencer—berubah menjadi serangan personal yang menggunakan kata-kata merendahkan, memfitnah, atau menuduh melakukan perbuatan tanpa dasar bukti yang valid, maka batasan hukum telah dilanggar. Penting untuk membedakan antara kritik konstruktif terhadap kebijakan dengan serangan personal yang didorong oleh emosi semata.

Selain itu, risiko hukum juga meningkat signifikan saat seorang mahasiswa terlibat dalam Penyebaran Berita Bohong atau Hoaks (Pasal 28 ayat 1). Di tengah arus informasi yang serba cepat, godaan untuk ikut menyebarkan kabar yang sedang viral dan bombastis sangatlah besar. Padahal, tindakan forward atau share informasi yang diketahuinya palsu dan berpotensi menimbulkan kerugian atau keributan publik dapat dikenakan sanksi pidana. Mahasiswa wajib menerapkan literasi informasi kritis dengan melakukan fact-checking yang ketat sebelum berkontribusi dalam penyebaran informasi viral.

Area sensitif lainnya yang seringkali terlewatkan adalah Ujaran Kebencian (Pasal 28 ayat 2). Isu-isu yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) adalah ranah yang sangat dijaga ketat oleh undang-undang. Komentar yang secara eksplisit atau implisit ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap kelompok tertentu, meskipun hanya dimaksudkan sebagai lelucon atau gimmick dalam perdebatan viral, dapat dengan mudah dikategorikan sebagai tindakan pidana.

Membangun Batasan Etika dan Digital Footprint yang Sehat

Untuk menghindari jerat UU ITE, para mahasiswa perlu memasang filter etika digital yang kuat. Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental, namun kebebasan tersebut tidak serta merta berarti bebas dari konsekuensi. Salah satu panduan praktis yang dapat diterapkan adalah dengan menanyakan prinsip "The Golden Rule of Internet" kepada diri sendiri: Apakah kata-kata yang akan diketik tersebut berani diucapkan secara langsung di hadapan publik, atau di hadapan pihak yang dikritik? Jika ada keraguan, maka sebaiknya kata-kata tersebut disunting atau dihapus.

Lebih lanjut, setiap unggahan dan komentar membentuk Digital Footprint—jejak digital yang melekat selamanya. Digital footprint ini tidak hanya menjadi bukti hukum di pengadilan, tetapi juga akan menjadi referensi bagi calon pemberi kerja, tim rekrutmen beasiswa, atau bahkan peer profesional di masa depan. Kualitas kritik yang berbasis data dan logika akan jauh lebih dihargai daripada luapan emosi yang agresif. Oleh karena itu, gunakanlah media sosial sebagai alat advokasi yang cerdas dan konstruktif, fokus pada isu yang ingin diperbaiki, dan hindari serangan personal yang tidak produktif.

Dengan meningkatkan literasi hukum dan etika digital, mahasiswa dapat tetap menjalankan peran pentingnya sebagai agen kontrol sosial dan perubahan, tanpa harus terjerumus dalam status hukum yang merugikan akibat euforia sesaat di kolom komentar viral.