Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 327248

Email

perpustakaan@iainmadura.ac.id

Kenapa Isu Burnout Gen Z Nggak Nyambung di Telinga Boomers? Memahami Gap Generasi dalam Viralitas

  • Diposting Oleh Admin Web Perpustakaan
  • Senin, 15 Desember 2025
  • Dilihat 32 Kali
Bagikan ke

(Ringkasan Kritis Mahasiswa: Konflik Prioritas di Balik Layar Media Sosial)

Mahasiswa—sebagian besar Gen Z—sering merasa frustrasi. Ketika isu seperti kesehatan mental, krisis iklim, atau tuntutan work-life balance menjadi viral dan mendesak di linimasa kita, respons dari generasi yang lebih tua (Boomers atau senior Milenial yang memegang otoritas) seringkali terasa dingin, meremehkan, atau bahkan menyalahkan. Mereka menjawabnya dengan klise lama: "Dulu kami lebih susah," atau "Ini masalah manja." Ini menunjukkan adanya kesenjangan mendasar dalam cara pandang dan prioritas sosial.

Tiga Alasan Isu 'X' Meledak di Tangan Gen Z

Isu-isu tertentu cepat meledak di kalangan Gen Z karena tiga pilar realitas digital kita:

  1. Akses dan Konektivitas Real-time: Kita mendapatkan informasi langsung dari jejaring sosial. Penderitaan personal (seperti burnout akibat tekanan akademik) langsung terekspos dan terdistribusi luas, menjadikan isu emosional menjadi isu publik secara instan.
  2. Bahasa Visual dan Emosional: Kita berkomunikasi melalui meme dan video singkat yang menekankan perasaan dan relatability. Isu work-life balance menjadi viral bukan karena makalah kaku, tetapi karena storytelling emosional yang mudah dicerna dan dibagikan.
  3. Krisis Eksistensial Nyata: Kita mewarisi tantangan besar: ketidakpastian ekonomi, biaya hidup tinggi, dan krisis iklim. Menyuarakan isu-isu ini lewat viralitas adalah bentuk self-advocacy yang didorong oleh kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup di masa depan yang tidak menentu.

Mengapa Generasi Terdahulu Cenderung Mengabaikan?

Sikap mengabaikan ini bukan selalu karena tidak peduli, melainkan karena perbedaan literasi sosial dan prioritas historis:

  • Prioritas yang Berbeda: Generasi terdahulu fokus pada stabilitas ekonomi dan budaya hustle culture (kerja keras tanpa mengeluh). Mereka melihat work-life balance atau perhatian berlebihan pada mental health sebagai kemewahan atau hambatan, bukan prasyarat kesehatan kerja.
  • Literasi Media Konvensional: Mereka cenderung memercayai media arus utama yang formal dan sulit memvalidasi urgensi yang datang dari user-generated content (seperti TikTok atau X), yang mereka anggap sebagai "kebisingan" digital yang kurang kredibel.
  • Mekanisme Koping yang Berbeda: Masalah mental cenderung diselesaikan secara internal. Keterbukaan Gen Z dalam membahas kecemasan secara publik dianggap asing dan berlebihan, bukan sebagai upaya mencari solusi sistemik.

Strategi Kita: Mengubah Noise Jadi Dialog

Untuk menjembatani kesenjangan ini dan memastikan isu-isu penting kita diakui oleh pengambil kebijakan, kita tidak boleh hanya berteriak. Kita harus menyusun strategi komunikasi yang cerdas:

  1. Terjemahkan Emosi ke Data: Gunakan viralitas sebagai pemicu, tetapi sertakan bukti dan data yang valid untuk mendukung argumen. Kritik harus berbasis fakta, bukan hanya keluh kesah.
  2. Ajak Diskusi Konstruktif: Jelaskan bahwa tuntutan di lingkungan saat ini berbeda. Tunjukkan bahwa mental health yang terjaga adalah investasi untuk produktivitas yang lebih tinggi, alih-alih hanya menuntut hak.

Dengan memahami prioritas dan cara pandang generasi di atas kita, kita dapat mengubah kebisingan viral menjadi dialog substansial yang menghasilkan perubahan nyata di kampus dan masyarakat.